Parah! Kisah 2 UMKM Bertahan di Tengah Pandemi, hingga Bisa Promosi Berbiaya Murah

Parah! Kisah 2 UMKM Bertahan di Tengah Pandemi, hingga Bisa Promosi Berbiaya Murah

Berdasarkan survei Markplus Inc, sebanyak 64 persen Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) mengalami penurunan pendapatan. Bahkan mereka mengeluh sulitnya pemasaran di tengah pandemi Covid-19.

Dari 400 UMKM yang disurvei, 32 persen UMKM harus menjalani promosi lebih sering dibanding kondisi normal. Harga promosi pun jauh lebih tinggi ketimbang sebelum pandemi Covid-19.

Mereka juga sulit menemukan cara pemasaran yang tepat untuk menghasilkan pendapatan yang optimal. Nyatanya, sebanyak 31 persen UMKM mengaku promosi yang dilakukan tidak membekali hasil optimal.

Tapi bukan UMKM namanya jika tidak punya segudang ide. Salah satu pelaku usaha yang bergerak di produk bantal foto, Nirwana, akhirnya punya ide untuk menjalani pemasaran murah kantong (low budget).

Nirwana mengurangi biaya iklan saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) berlangsung. Karena distribusi terhambat, akhirnya promosi dia fokuskan pada kota-kota terdekat yang masih dapat dijangkau.

"Memang betul promosinya lebih keras dari biasanya. Pengiriman kami jangkau pulau Jawa saja, jadi promosinya kami fokuskan iklan ke kota-kota terdekat," ujar Nirwana dalam Bincang-bincang Ninja Xpress secara virtual, Jumat (18/12/2020).

Karena biaya iklan dikurangi, Nurwana akhirnya membangun hubungan dengan pelanggan (customer relationship management).

Selain melengkapi database, membangun hubungan dengan pelanggan mampu membuat pelanggan dapat kembali berbelanja, atau setidaknya memberikan beragam masukan.

"Meski profit berkurang, akan tetapi sangat dapat membantu menaikkan revenue (pendapatan) di kala pandemi. Alhamdulillah kami masih dapat bertahan," ucapnya.

Lain lagi dengan Nita, seorang pelaku usaha di bidang fesyen muslim. Awalnya, dia mengaku kebingungan karena toko-toko offline terpaksa tutup di Jabodetabek dan Bandung. Alhasil, ada penurunan pendapatan hingga 70 persen.

Apalagi saat itu bisnisnya belum terlalu fokus pada kanal digital. Pemasaran lebih difokuskan pada toko offline sebelum pandemi Covid-19.

"Awalnya belum ada maintenance khusus di online. Tapi bagaimana caranya dengan keterbatasan-keterbatasan itu, kami harus bergerak ke online," ucap Nita.

Nyatanya, pemasaran secara online pun tak cukup, lantaran daya beli masyarakat menurun. Masyarakat tentu lebih memprioritaskan makanan pokok ketimbang baju-baju muslim. Belum lagi biaya iklan yang mahal.

Dengan keterbatasan sumber daya dan modal, Nita akhirnya berputar haluan memproduksi Alat Pelindung Diri (APD) untuk dokter. Proses pembuatan masih berdasarkan pesanan dari para dokter, lantaran banyak pegawainya yang sulit kembali ke Bandung akibat PSBB.

"Kami paksakan dapat masuk ke Bandung dengan surat izin kerja. Alhamdulillah kita dapat bahan yang sesuai (untuk membuat APD). Sudah sesuai standar WHO," ungkapnya.

Tak berhenti sampai situ, Nita akhirnya membuat jaket dan produk-produk lainnya.

"Bisa menggerakkan operasional perusahaan lagi. Jadi penggerak utama (saat itu)," pungkasnya.

Aktifkan Notifikasimu

Jadilah yang pertama menerima update berita penting, topik menarik, dan informasi lainnya

Aktifkan

Belum berhasil mengaktifkan notifikasi Kompas.com? Klik di sini

Ini Berbagai Macam Jenis Iklan di Internet yang Perlu Kamu Ketahui

Kenali Berbagai Macam Tipe Data yang Ada di Bahasa Pemrograman

Comments

Popular posts from this blog

Info Terkini, Rilis Laporan, Kemenkeu Catat Belanja Pajak 2019 Capai Rp 257,2 Triliun

Wow! Kaleidoskop 2020: Saat Pasar Modal Indonesia Perlahan Bangkit dari Keterpurukan Setelah Diterpa Corona

Paling Baru, Ini Alasan RI Pilih Calon Vaksin Covid19 Buatan Sinovac